Saturday, December 31, 2016

Bersyukur Kepada-Nya part 2016

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena di awal 2016 aku mulai mengenal ‘saat teduh’, waktuku untuk berbicara dengan-Nya, membaca firman-Nya dan mengenal-Nya lebih dalam lagi.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena aku kembali beradaptasi dengan lingkungan SMA-ku yang cukup kompetitif di saat dulu aku takut, bahkan berkali-kali meminta untuk pindah sekolah.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena aku bisa menjalin pertemanan yang cukup baik dengan orang-orang yang ada di kelas baruku dan ternyata mereka memiliki talenta-talenta di luar dugaanku.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena aku bisa melalui satu tahun terakhir SMA-ku dengan nilai yang cukup baik di saat aku pesimis dengan hasilnya setelah melewati berbagai ujian tersebut.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena di rentang satu tahun terakhirku di SMA, aku juga mengenal berbagai orang dari berbagai SMA di kotaku yang selalu menghiburku saat lelah belajar serta berbagai tentor yang selalu sabar mengajariku dan memotivasiku di bimbingan belajarku.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena aku tidak lulus SNMPTN sehingga membuatku semakin termotivasi untuk menunjukkan kepada orang-orang sekitarku bahwa aku bisa masuk PTN dengan kemampuanku sendiri.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena Ia telah menambahkan umurku dan masih dalam keadaan sehat.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena Ia telah menjawab doaku dengan memberiku pintu masuk ke ITB, salah satu institut terbaik di Indonesia sehingga aku dapat membuat keluargaku bahagia, padahal kala aku membuka pengumumannya, aku sedang terbaring lemah dan sakit dengan suhu badan yang cukup tinggi dan tidak turun beberapa hari sebelum pengumuman tersebut.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena Ia telah menjawab doaku dengan hanya meluluskan aku melalui jalur SBMPTN dimana pilihan jurusanku di jalur ini adalah Teknik Industri, sedangkan di pilihan jurusanku di jalur ujian mandiri (Hubungan Internasional) aku tidak diluluskan sehingga aku tak perlu lagi bingung untuk memilihnya jika aku lulus keduanya atau bingung jurusan apa lagi yang harus aku pilih apabila aku tidak lulus keduanya.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena telah memberi abang kakak yang rela mencarikanku kos di Bandung, datang dari Jakarta untuk menjemputku di bandara, mengantarkanku ke tempat kos dan mempersiapkan berbagai barang yang kuperlukan untuk bertahan hidup di Bandung.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena telah memberi teman SMA-ku satu kos denganku sehingga di awal kedatanganku di Bandung, aku tidak merasa kesepian.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena Ia telah menunjukkan manfaat dari berbagai kegiatan yang aku ikuti selama aku hidup. Karena aku ikut OSIS di SMP, SMA dan sempat ikut AFS, aku memiliki banyak teman dan relasi di ITB yang bisa menuntunku di kala aku kesusahan.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena Ia telah menempatkanku di Radio Kampus, unit yang sangat kusukai dan memiliki beragam jenis orang-orang yang cukup sepikiran, sehati, sejiwa denganku.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena Ia telah mempertemukanku dengan teman-teman terbaikku yang dapat kuajak bermain, belajar bersama, mengerjakan hal-hal lucu, aneh, seru bersama, bahkan salah satu di antara mereka menjadi temanku setiap kali aku pergi ke gereja di Bandung dan mereka semua satu unit denganku (Radio Kampus)

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena Ia telah menamparku di UTS I, mengingatkanku tujuan aku masuk ke kampus gajah ini.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena Ia telah menarikku kembali menjadi pelayan-Nya di organisasi mahasiswa Kristen ITB (PMK) di saat aku bosan, jenuh menjadi pelayan-Nya selama beberapa tahun terakhir.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena Ia telah memperkenalkanku kepada orang-orang yang memiliki jiwa positif dan selalu menyemangatiku secara tidak langsung untuk terus bersekutu kepadaNya.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena aku telah melewati UTS II dengan hasil yang lebih baik daripada UTS I.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena Ia telah menjagaku dan merawatku saat aku sakit selama satu tahun terakhir, padahal aku cukup sering sakit-sakitan tetapi karena kasih-Nya aku masih bisa sehat dan mampu melalui itu semua.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena aku telah menyaksikan sendiri proses pernikahan abangku dari awal hingga akhir dan membantunya beberapa kali walaupun saat itu aku merasa kurang sehat dan masih harus kembali ke Bandung keesokan harinya.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena aku masih bisa melayani di natal PMK ITB dan merasakan perayaan natal di salah satu gereja di Bandung.


Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena aku masih menjalin hubungan dengan keluarga angkatku di Belgia walaupun hanya beberapa kali.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena aku masih bisa merayakan Natal bersama keluargaku.

Aku bersyukur kepada Tuhan Yesus karena dalam waktu 7 jam lagi, aku akan melewati tahun 2016 yang penuh kenangan ini.

Wednesday, December 21, 2016

Stereotypes (Again)

Satu semester berkuliah di kampus gajah telah berakhir. Walaupun kurang dari enam bulan, banyak sekali kisah-kisah yang telah saya lalui, entah itu kisah sedih ataupun bahagia. Salah satu dari kisah-kisah tersebut adalah mengenai stereotype orang-orang atau lebih tepatnya, teman-teman baru saya di sini yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia terhadap kota dan sekolah asal saya.

Seperti yang kalian tahu, saya berasal dari Kota Medan dan beberapa orang bertanya kepada saya:
1. Kok lu gak ada aksen Medan-nya kaya orang-orang Medan lainnya atau kaya ... (nyebutin nama teman saya yang juga dari Medan)?
Saya cukup kesal sih, emang semua orang Medan harus punya aksen yang "batak" banget ya? Hhmm..

2. Kok lu pake 'lu-gua' juga sih?
Well, dari SMA, saya sebenernya udah pake 'lu-gua' karena suku Tionghoa yang merupakan mayoritas di SMA saya memakai 'lu-gua' juga atau lebih tepatnya kita lebih memakai 'lu-wa' sih HEHEH.

3. Di Medan banyak mall ga sih?
4. Medan itu dimana ya?
Kedua pertanyaan terakhir mungkin tidak perlu saya respon di sini.

Kemudian, beberapa orang juga bertanya saya berasal dari sekolah mana. Ketika saya bilang saya dari SMA Sutomo 1, mereka langsung bertanya:
1. Kamu Buddha?
2. Kamu kenapa ikut PMK (organisasi mahasiswa Kristen)? Kok gak ikut KMB (organisasi mahasiswa Budha)?
Saya tau memang kebanyakan siswa/i dari sekolah saya yang masuk ITB kebanyakan beragama Budha dan ikut KMB, tapi bukan berarti semuanya kan. SMA saya merupakan sekolah nasional yang tidak memihak pada agama manapun. Bahkan dari sekolah saya yang masuk kampus gajah ini juga ada yang Muslim, anyway.

3. Kamu Chinese ya?
OH PLEASE, ku ingin menangos.

4. Kamu pasti pinter! Ajarin dong.
Huft :(

Selamat Liburan Teman-Teman!

Thursday, October 27, 2016

Welcome to Campus' Life :)

Sang fajar telah mulai bersinar...
Burung-burung nan indah mulai berkicau..
Sejuknya udara mulai menyelimuti sekujur tubuhku..
Selamat pagi, Bandungku!

Beberapa bulan yang lalu, setelah melewati berbagai rintangan, puji Tuhan aku mendapatkan pengumuman bahwa diriku diterima di salah satu institut terbaik yang dimiliki bangsa ini, yang banyak melahirkan penggerak-penggerak kemajuan Indonesia, Institut Teknologi Bandung (ITB).

Siapa yang tidak mau berkuliah di ITB?
Banyak orang bilang, mahasiswa-mahasiswa ITB merupakan pemuda-pemuda terbaik yang dimiliki bangsa ini. Banyak orang bilang, mahasiswa ITB merupakan pemuda-pemuda beruntung karena bisa mengenyam pendidikan terbaik. Banyak orang bilang, mahasiswa ITB merupakan pemuda-pemuda yang akan menjadi bagian dari sejarah kemajuan Indonesia. Benarkah?

Setelah merasakan menjadi mahasiswa, yang katanya, institut terbaik bangsa beberapa bulan ini, aku memang banyak belajar hal-hal baru lagi. Karena kebutuhan yang mendesak, aku harus belajar memasak, menyuci, membersihkan, mengatur waktu dan mengontrol diri. Aku benar-benar dituntut menjadi pribadi yang mandiri, yang kelak akhirnya juga hidup tidak terikat dengan orang lain.

Beradaptasi dengan kehidupan kampus yang menuntut menjadi insan yang unggul dalam pelajaran maupun kegiatan nonakademik membuat aku cukup kewalahan menghadapinya, sesuatu yang benar-benar baru bagiku. Terkadang, berfokus dalam satu hal saja itu salah, berfokus pada banyak hal juga salah. Kita memang benar-benar dituntut menjadi orang yang mampu beradaptasi dengan segala lingkungan, segala keadaan, dan segala manusia,

Sistem belajar di perkuliahan yang sangat berbeda dengan dulu juga tak luput menjadi sebuah tekanan bagiku, Memahami pelajaran di kelas tidaklah cukup bagi mahasiswa, Kita harus benar-benar menumbuhkan kesadaran dalam diri untuk terus haus akan ilmu. Buat orang yang dulu bisa menyombongkan diri akan kepintarannya di antara teman-temannya yang lain, mungkin perlu berpikir ulang lagi untuk menyombongkan diri ketika sudah terikat menjadi bagian dari kawah ganesha ini.

Saat ini, setiap orang benar-benar dituntut menjadi orang yang visioner, terutama dalam hal pekerjaan, Banyak orang mulai memperluas relasinya dengan yang lebih tua maupun lebih muda, dengan orang yang berbeda latar belakang, dengan orang yang berbeda sifat, perilaku  dan mulai mengurangi rasa ego sendiri serta memusuhi orang yang tidak disukai seperti dulu saat masih di bangku sekolah, siapa yang tahu masa depan kita?

Kuliah di ITB bukanlah hal yang mudah. Banyak orang bilang, masuk sulit, di dalam sulit, keluar pun sulit juga. Doakan kami, para pengemban misi menuju Indonesia yang lebih baik!

Tuesday, July 12, 2016

Het leven na het uitwisselingsjaar

Bonjour.

Kalau kamu bertanya tentang pertukaran pelajar kepada orang-orang yang sudah pernah mengikutinya, bisa-bisa mereka lupa waktu menceritakan banyak hal. Tahun tersebut memang tidak akan pernah dilupakan. Hari ini saya tidak akan bercerita tentang tahun pertukaran pelajar saya - ya, saya memang harus move on dari masa lalu - tetapi saya akan menceritakan how my life is after that year here, in my first home, Indonesia.

Ada begitu banyak rasa yang bercampur aduk dalam diri saya ketika kembali ke rumah saya dulu. Kesal. Bahagia. Sedih. Satu bulan pertama memang merupakan waktu yang sangat rapuh bagiku. Sering kali saya chat dengan salah satu volunteer AFS yang ada di chapter saya. Banyak hal yang masih belum saya terima. Satu tahun memang kalau dipikir-pikir cukup lama karena ada banyak sekali perubahan yang terjadi di sekitar lingkungan saya, baik bangunan-bangunan yang mulai bertambah maupun orang-orang yang memiliki banyak perubahan sifat. Tetapi memang bukan mereka saja yang berubah, banyak orang pun yang mengatakan bahwa saya juga telah banyak berubah.

Sekolah, tempat saya menimba ilmu setiap hari. Saya memang takut awalnya untuk memulai hari-hari di sekolah kembali. Saya takut tidak punya teman - ya, saya sekarang sadar bahwa saya bukan tipe orang yang gampang diajak berteman. Saya takut lupa akan banyak hal akan pelajaran-pelajaran kelas satu dan dua dulu sehingga menunjukkan bahwa sepertinya siswa pertukaran pelajar itu bodoh dan sia-sia mengikutinya. Ada banyak orang memang yang langsung berpikiran jelek terhadap pertukaran pelajar, tapi itu membuat saya semakin sadar bahwa setiap orang memiliki perspektif yang berbeda-beda akan sesuatu hal. Berkali-kali pula saya mencoba meluruskan apa yang terjadi dengan pikiran-pikiran antara saya dan orang-orang tersebut.

Di sekolah ada begitu banyak tawaran-tawaran menarik yang datang silih berganti ke kehidupan saya. Maksud saya, seperti tawaran untuk menjadi anggota OSIS kembali, ikut ekstrakurikuler ini itu, dsb. Jujur sebelum pergi ke Belgia, saya memang orang yang aktif di sekolah. Tapi kali ini saya mencoba untuk menolak semua tawaran itu. Yang saya pikirkan adalah saya harus menata kembali kehidupan saya - bukan berarti kehidupan saya dulunya berantakan, tapi maksudnya membuat kehidupan yang saya inginkan. Saya harus fokus ke depan, berpikir bahwa sudah saatnya saya harus lulus dari bangku sekolah ini. Melihat teman-teman saya dulu yang sudah kuliah memang menyakitkan, menyedihkan. Saya semakin terpacu untuk bisa mengejar mereka. Saya pun akhirnya hanya mengikuti satu kegiatan di sekolah, kegiatan siswa Kristen di sekolah. Selain itu, hari-hari saya hanya dipenuhi belajar dan belajar, di sekolah, di rumah, maupun di tempat bimbel.

Pikiran yang menginginkan untuk lulus secepatnya memang berhasil membuat saya mulai melupakan kehidupan di Belgia. Air mata sudah mulai tidak jatuh lagi ketika mengingat-ingat kehidupan saya dulu di Belgia. Beberapa kali memang saya sudah melakukan video call dengan keluarga angkat saya untuk melepaskan rasa rindu kepada mereka. Selain itu, saling mengirim surel pun kami lakukan. Di sosial media pun kadang saya berinteraksi dengan keluarga angkat dan teman-teman saya. Tapi pikiran tersebut juga seperti membuat gap antara saya dan teman-teman baru saya. Sepertinya saya memang "kuper" tahun ini. Saya hanya mengenal teman-teman sekelas saya yang baru dengan baik. Selebihnya, hanya teman-teman dari kelas lain yang sebimbel dengan saya yang saya kenal. Hm, saya memang sadar sepertinya hidup saya berubah 180 derajat dengan yang dulu. Ada memang rasa penyesalan akan gap yang terjadi ini, saya memang tidak terlalu dekat dengan mereka, berbagai acara yang sering mereka buat pun jarang, bahkan hampir tidak pernah saya ikuti karena bentrokan dengan jadwal saya bimbel. Saya memang lebih mementingkan kehidupan di bimbel daripada di sekolah tahun ini.

Kedatangan saya ke kelas baru ini memang menambah warna baru bagi mereka, kata mereka. Saya bersyukur karena walaupun saya sulit memulai pertemanan, kalau sudah namanya teman, saya tidak sungkan-sungkan untuk langsung bercerita panjang lebar, bercanda tawa sepuasnya dengan mereka. Akhirnya memang yang dulunya mereka kurang kompak dan banyak yang ngegrup, mereka kekompakannya mulai terlihat dan gap-nya mulai berkurang. Ironis memang apabila melihat kelas yang sudah tahun terakhir tapi tidak kompak. Tidak sedikit memang di antara mereka yang ambisius banget untuk menjadi yang terbaik di kelas. Hal ini memang berbeda dengan kelas saya dulu, yang memang walaupun sama-sama di kelas IPA 1. Kalau dibandingkan, memang lebih kompak kelas yang dulu, bahkan bisa membuat saya iri. Tapi saya tetap bersyukur kok. Saya tetap bersyukur bisa memiliki teman baru dan belajar menerima kehidupan yang baru. Saya memang tidak akan mungkin mendapatkan semua yang saya inginkan. Usaha untuk membuat mereka kompak pun sedikit saya lakukan karena waktu saya di sekolah yang sangat sedikit. Saya tetap bersyukur bisa belajar tentang kehidupan (lagi) bersama mereka, orang-orang yang baru satu tahun ini saya kenal.

Akhirnya setelah satu tahun penuh perjuangan, saya bisa menyelesaikan sekolah saya dengan nilai-nilai yang cukup baik dan saya pun berhasil masuk ke salah satu perguruan tinggi favorit di Indonesia dengan jurusan yang memang saya inginkan satu tahun terakhir ini. Memori-memori saat kelas 3 memang tidak banyak, tapi setidaknya cukuplah untuk mengakhiri tahun terakhir saya duduk di bangku sekolah dengan seragam putih abu-abu. Saya memang sudah mulai menerima akan segala hal yang terjadi di hidup saya. Ada banyak orang memang berbeda pendapat dengan saya, ada banyak orang yang tidak menerima dengan pikiran saya, tidak menerima hal-hal yang saya lakukan. Tapi melalui program pertukaran pelajar, ada satu prinsip yang terus saya pegang hingga sekarang: Apapun yang dikatakan orang, entah saya dicaci maki atau yang lainnya, yang tau dan bisa menggambar hidup saya hanya saya sendiri. Saya hanya hidup sekali dan saya menerima segala resiko yang saya lakukan karena itu yang saya inginkan.

Buat kalian yang pernah hadir di hari-hari saya selama saya duduk di tahun terakhir masa putih abu-abu saya, terima kasih.


Sunday, March 27, 2016

Titik Kehidupan: Peralihan Menjadi Orang yang Benar-Benar Orang

Saya telah sampai. Sampai di sebuah titik kehidupan dimana di saat inilah saya dan mungkin juga teman-teman seangkatan saya untuk menentukan tujuan, arah, jalan hidup kami masing-masing.

Saya masih ingat dulu pas pertama sekali masuk SD, saya didampingi oleh ibu saya. Saya sangat takut sekali saat itu, saya rasa kalian juga merasakan hal yang sama dulu. Pagi-pagi saya bilang ke ibu saya untuk selalu berada di dekat kelas saya walaupun saya sudah masuk pelajaran. Setelah beberapa menit mengikuti pelajaran dari guru saya, saya menoleh ke arah luar kelas, ibu saya tidak ada lagi. Saya pun mulai menangis.

Hari demi hari, tahun demi tahun, saya mulai merasakan arti sebuah pendidikan. Suka duka selama hampir 12 tahun tentu ada. Pukulan, amarah, baik dari guru maupun dari orang tua pernah saya dapat. Tapi di balik itu semua, saya percaya memang selalu ada hal positifnya.

Selama 12 tahun pula saya dibimbing, diarahkan oleh orang tua dan guru bagaimana menjadi manusia yang lebih baik. Saya masih ingat, dulu malas sekali mengerjakan PR atau belajar untuk ujian, dsb. Tapi berkat guru dan orang tua, akhirnya saya sadar bahwa pendidikan itu memang penting untuk masa depan saya.

Bersosialisasi adalah hal favorit saya selama mengenyam pendidikan! Banyak sekali kenangan-kenangan bersama teman-teman yang tak akan pernah saya lupakan. Saya masih ingat, bagaimana teman saya mengajari saya untuk mengambil angkot dari SD ke rumah. Pas SD juga, saya sering bermain ke rumah teman saya (maaf, dari kecil saya memang sudah kelihatan punya kaki yang panjang hehe). Saat SMP pula saya terpilih menjadi Ketua OSIS dan SMA juga menjadi Ketua OSIS I dan menjadi bagian dari organisasi siswa Kristen. Banyak hal-hal yang saya dapatkan bersama mereka semua. Mereka telah mewarnai dunia saya. Siapapun itu, aku berterima kasih atas apapun yang pernah kita lakukan dulu.

Tak terasa memang, sekarang saya sudah duduk di kelas 12. Minggu depan saya akan mengikuti ujian nasional dan saatnya melepaskan 'seragam'. Selama hampir satu tahun di kelas 12, pikiran saya pun dihantui oleh berbagai pertanyaan: Apa yang akan saya lakukan nanti?

Kedua orang tua saya memberikan kebebasan kepada saya untuk menentukan jalan hidup saya. Apapun yang akan saya lakukan, asalkan itu baik, pasti akan mereka dukung katanya. Jujur kegelisahan memilih jurusan kuliah masih ada di dalam diri saya sampai saat ini. Banyak sekali teman-teman saya yang sudah dari dulu memikirkan atau merencanakan masa depan mereka dan tidak sedikit dari mereka yang sudah mendapat surat pernyataan dari berbagai universitas, baik di luar maupun di dalam negeri bahwa mereka diterima untuk belajar di sana. Sembari mendengar berita-berita sukacita mereka, aku pun masih terus berpikir, ke manakah aku harus pergi?

Kini saya memang semakin disadarkan, sebenarnya saya ini siapa, apa kelemahan dan kelebihan yang saya miliki. Tetapi sering sekali saya temukan hambatan dan kemudian perlahan-lahan mundur dari yang namanya "mencoba". Di sekolah saya punya seorang teman yang sangat senang menceritakan masa depan. Berbagai cerita manis dan kadang pahit diucapkannya setiap hari. Mendengar ceritanya, saya sangat merasa iri. Dia punya rasa "mencoba" yang bisa dibilang level tingkat dewa kata orang-orang. Sedangkan saya? Kadang saya berpikir, apa karena mungkin saya trauma karena pernah sekali dalam hidup saya, saya sudah sangat menginginkan sesuatu dan percaya pasti akan mendapatkannya, tetapi ternyata hasilnya nihil, gagal, tidak sesuai dengan hati saya.

Saya sadar bahwa saya memang harus bangkit dari yang namanya kegagalan. Saya sadar bahwa saya harus mulai membuat sebuah tujuan hidup agar saya bisa mulai merancang kehidupan masa depan saya, agar saya bisa memahami rintangan-rintangan yang harus saya lalui, agar saya mulai mempersiapkan mental untuk menghadapi rintangan tersebut.

Maaf, jika saya terlalu abstrak menuliskan postingan ini. Saya memang hanya ingin mengingatkan saya sendiri dan kalian semua bahwa kelas 12 memang sebuah tantangan di detik-detik terakhirnya, karena siap tidak siap, kita harus mulai menggambar kehidupan masa depan kita.