Sunday, June 4, 2017

Hidup Harus Terus Berlanjut, kan?

Hai, sudah lama aku gak membuka blog ini. Well, sekarang aku mau cerita apa yang terjadi hampir setahun belakangan dan mungkin menjadi salah satu alasan aku gak buka blog ini heheh..

Bulan Agustus 2016 merupakan awal aku memulai petualangan di Bumi Pasundan ini. Seperti semua orang, euforia menjadi mahasiswa baru di institut yang cukup terkenal dengan prestasi akademiknya sangat terasa di awal-awal. Siapa yang tidak senang coba berkuliah di sini?

Di sini, aku tinggal di sebuah kos yang letaknya masih di sekitar ITB. Ini memang bukan pertama kalinya aku tinggal sendirian, jauh dari keluarga dan tempat asal. Jadi, di awal-awal aku tinggal di Bandung, aku sudah terbiasa dengan kesendirian dan mulai membangun kehidupan dengan beradaptasi terhadap lingkungan sekitar. Puji Tuhan, di sini aku cukup aktif di Bina Antarbudaya Chapter Bandung sehingga memudahkan aku untuk bertanya kepada beberapa orang yang tinggal di sini mengenai suatu hal di Bandung yang tidak aku ketahui. Selain itu, karena beberapa anak pertukaran pelajar yang seangkatan denganku dulu juga berkuliah di sini, aku juga gak terlalu merasa sendiri.

Oh iya, di sini aku juga satu kos dengan teman-teman SMA-ku. Ketika aku merasa sendiri di kamar, aku langsung beranjak menuju ke kamar mereka, bercengkeramah dari hal yang berfaedah hingga nirfaedah. Beberapa kali juga, kami pergi ke kosan teman-teman kami yang lain, sambil belajar jalan-jalan di sekitar lingkungan baruku ini.

Gimana dengan kuliahnya sendiri? Hmm... Kuliah di ITB emang bener-bener menguras pikiran dan tenaga. Waktu juga deng. When you're accepted in ITB, your senior will say like,"Welcome to the hell, guys!" Unfortunately, it's true. Mungkin ketika kamu duduk di kelas di awal-awal perkuliahan, kamu akan merasa yang paling pintar. Tapi setelah kamu mendapat hasil ujian... HEHEH sabar aja ya :) Tapi sedihnya gak lama-lama kok, seiring berjalannya waktu kami mulai beradptasi dan terbiasa dengan cara belajarnya ITB.

Kebanyakan anak-anak ITB belajar secara berkelompok, and that's what I do. Awalnya, aku emang mencoba untuk belajar sendiri, hasilnya... lihatlah betapa buruknya heheh. Akhirnya aku mencoba untuk mencari teman yang asik dan mau belajar bareng aku. Di sini aku mencoba untuk tidak sering bersama dengan teman-teman SMA ku karena aku merasa itu akan menghambat adaptasiku untuk tinggal di sini. Untungnya aku ikut unit Radio Kampus. Di situ aku menemukan beberapa teman yang asik dan mau belajar denganku. Awalnya sih cuma teman seunit yang dulu satu bimbel dengan aku di Medan, tapi di tempat kami belajar, sering kami bertemu dengan beberapa teman seunit kami yang lain sehingga kami menyatu menjadi satu kelompok belajar heheh.. Belajar kelompok di sini juga ga bentar. Sering ketika sudah mendekati ujian, kami belajar hampir setiap hari dari sore hingga esok pagi (karena pagi-sore masih kuliah). Pernah suatu hari kami belajar sampai jam 5 pagi hahah... But it's worth actually. Selain kamu bisa nambah teman dan semakin akrab dengan mereka, kamu akhirnya bisa tau beberapa materi pelajaran yang kamu ga tau, tapi temen kamu tau :)

Ngomong-ngomong tentang unit... Aku merupakan salah satu kru Radio Kampus atau biasa disingkat dengan RK. Seperti unit-unit lain, sebelum menjadi anggota unit ini, dalam unit ini menjadi kru, kami diharuskan mengikuti kaderisasi, di RK disebut sebagai pendidikan. Di unit ini, aku diterima menjadi announcer. Ini merupakan pengalaman yang sangat baru buatku. Jujur sebenernya aku masih kurang pede ngomong, bahkan sampai sekarang karena anak-anak ITB sangat kritis dan keren-keren, di situ aku kadang merasa minder. Tapi anak RK sangat sangat lucu, juga asik. Dari RK, aku banyak tau tentang tempat-tempat hang out yang bagus di Bandung, tempat makan yang enak, film atau musik yang baru keluar, dll. Aku bener-bener merasa up-to-date di sini. Walaupun begitu, kalau lagi serius, kayak musyawarah atau forum gitu, mereka bener-bener serius. Dari situ, aku jadi banyak belajar dari mereka tentang berorganisasi dan berpikir kritis dan kreatif.

Selain RK, aku juga lumayan aktif di Persekutuan Mahasiswa Kristen atau biasa disingkat PMK. PMK ITB membuat aku emang bener-bener bertumbuh secara rohani. Aku merasa lebih mengenal Tuhan sekarang dibandingkan yang dulu. Well, you know, anak ITB itu sangat ambis (read: rajin) dalam akademik sehingga banyak kehidupan sosial mereka sangat kurang, akibatnya mereka merasa sendiri dan ada kekosongan di dalam diri mereka. That's the point, guys. You need God, aku merasa butuh Tuhan dalam diriku. Di PMK, aku aktif di Divisi Pelayan Khusus (PK), tugasnya seperti menjenguk orang sakit, menghibur orang yang lagi sedih dan menjadi penyambut orang yang datang ke ibadah PMK setiap Jumat.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, kini aku akan memasuki tahun kedua. Katanya sih besok bakal pengumuman jurusan. Hopefully I get the one that I want the most! I won't tell what it is anyway heheh... Dari pertengahan Mei kemarin, sebenarnya aku udah libur, tapi aku belum balik karena masih harus mengikuti beberapa diklat yang merupakan persyaratan untuk menjadi panitia OSKM (Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa), semacam ospek gitu, mahasiswa 2017.

By the way, sekarang kan lagi puasa. Di daerah kosan aku, ga ada warung makan yang buka pagi-pagi. Jadi untuk sarapan aku harus bangun jam 3 pagi untuk beli makan (sahur). Such a great experience actually, belum pernah ngerasain begini, tapi gapapa sih, that's what we call as tolerance, right?

Sudah hampir setahun aku berada di sini, banyak sekali perubahan yang aku rasa di dalam diriku. Lika-liku dalam kehidupan juga semakin banyak untuk mengasah kepribadianku menjadi manusia yang kuat. Tapi hidup harus terus berlanjut kan? Aku percaya, semua badai pasti akan berlalu dan suatu hari, aku akan benar-benar menjadi manusia kuat, hebat dan bisa menginspirasi setiap orang.


Bandung, 4 Juni 2017.
00:09

Monday, January 9, 2017

Mencari Secercah Harapan Menuju Perguruan Tinggi

Hari ini saya datang ke tempat bimbel saya dulu dengan tujuan untuk memotivasi adik-adik yang akan mengikuti berbagai ujian untuk mendapatkan bangku di perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri (PTN). Sangat senang rasanya bisa kembali ke tempat ini dengan status sebagai mahasiswa ITB. Ketika saya mulai memijakkan kaki di tempat ini, memori-memori saya di tempat ini bersama tentor-tentor dan teman-teman seperjuangan mulai bermunculan. Ada banyak sekali kenangan-kenangan suka maupun duka di sini bersama mereka, tertawa bersama, berdoa bersama bahkan menangis bersama karena rasanya tidak kuat dengan beban yang semakin berat menghadapi ujian masuk PTN dulu.

Saat saya dan teman-teman saya diberi kesempatan untuk berbicara dengan adik-adik disana, kami memulainya dengan perkenalan dan bertanya, akan kemana mereka melanjutkan studinya. Banyak yang menjawab ingin masuk ITB, ada pula yang ingin masuk UI, UGM! Semua yang mereka sebutkan merupakan universitas favorit di negeri ini. Saya pun mulai bercerita bahwa saya sempat ketinggalan setahun oleh teman-teman saya yang membuat saya sedikit cemburu ketika melihat teman-teman saya sudah memakai jaket almamater universitas mereka, pergi dengan baju bebas dan pulang ke kos masing-masing hingga larut malam karena mengerjakan tugas. Bermula dari situ yang membuat tekad saya untuk lebih serius dengan tahun "perjuangan" saya. 

Ketika semester dua dimulai, saya semakin merasa tertekan dengan beban-beban yang ada pada saya. Walaupun saat itu masih bulan Januari, tapi saya sudah mulai merasakan atmosfer perang untuk mendapatkan kursi di PTN. Keluarga saya pun sangat berharap kepada saya karena saya adalah anak terakhir di keluarga saya dan ketiga kakak-abang saya sudah duduk di PTN-PTN yang cukup diminati oleh seluruh penjuru negeri. Jujur selama semester satu, ketika saya berdoa setiap malam, saya sering menyucurkan air mata, tetapi entah kenapa saat semester dua itu tak ada sedikit pun air mata yang menetes, rasanya perjuangan yang semakin berat itu tak tertangisi lagi oleh saya.

Hari demi hari berlalu, saat pengumuman I undangan (masuk tidaknya saya ke dalam 75% ranking paralel), saya dinyatakan tidak lulus. Dari situ, saya mulai menambah semangat belajar saya, tak lupa saya terus berdoa kepada Tuhan agar Ia memberikan yang terbaik kepada saya. Ketika melihat teman-teman saya yang lulus undangan, ada rasa sedikit "down' memang karena dulunya saya sering belajar bersama mereka, kini saya hanya belajar dengan beberapa orang saja, bahkan sempat sendiri. Sakit rasanya memang, tapi saya percaya Tuhan memiliki rencana yang besar buat saya.

Rasanya memang usaha saya sudah cukup besar, banyak orang yang mengatakan saya bahkan gila karena jam belajar saya hampir 24 jam, rumah hanya sebagai tempat singgah untuk tidur dan mandi yang semuanya jika dihitung hanya sekitar 5-6 jam saja di sana, selebihnya saya habiskan waktu di sekolah dan bimbel, begitu setiap harinya. Tetapi, saya juga cukup kecewa dengan hasil SBMPTN saya ketika diperiksa oleh tentor-tentor saya pada hari yang sama dengan ujian SBMPTN tersebut. Saya kira saya pasti tidak lulus. Kalau lulus, pasti di pilihan kedua atau ketiga.

Salah satu tentor saya pernah berkata di hari saya terakhir belajar di bimbel saya, "Apabila Tuhan telah membukakan pintu bagi kamu, tidak akan ada yang bisa menutupnya. Apabila Tuhan telah mengangkat kamu, tidak akan ada yang bisa menurunkanmu. Percayalah kepada-Nya." Puji Tuhan, mujizat itu nyata! Pernyataan dari tentor saya tersebut benar adanya dan kini saya lulus di FTI ITB melalui jalur SBMPTN.

Dulu saya sempat bergumul memang untuk mengambil jurusan IPA, IPS, atau IPC di ujian masuk PTN ini. Setelah saya mendoakannya, saya memilih jurusan IPA di SBMPTN dengan pilihan pertama FTI ITB dan IPC di Utul UGM dengan pilihan pertama HI. Setelah menjalani kedua ujian tersebut, saya merasa saya lebih bisa mengerjakan soal Utul UGM tersebut dan merasa percaya diri untuk masuk di Hubungan Internasional atau at least pilihan kedua (Teknik Industri) atau ketiga saya (Ilmu Komunikasi). Ternyata Tuhan memilihkan saya yang terbaik untuk lulus di SBMPTN dengan pilihan pertama saya dan Ia tidak membuat saya bingung lagi dengan tidak meluluskan saya di Utul UGM. Sampai saat ini saya memang merasa FTI merupakan pilihan terbaik buat saya dan saya sangat senang berada di sini.

Saya juga sempat bilang ke adik-adik tersebut untuk mulai mencari jurusan yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka dari sekarang karena memilih jurusan sangatlah lama menurut saya. Setelah itu mulai  didoakan dan tak lupa untuk bilang ke orang tua pilihan mereka dan alasan memilihnya. Dukungan orang tua juga sangat kita perlukan. Puji Tuhan orang tua saya selalu mendukung saya apapun pilihan saya kalau memang menurut saya itu yang terbaik, Tetapi saya juga sempat menceritakan teman saya yang ingin sekali masuk suatu jurusan tetapi kedua orang tuanya kurang setuju dengan pilihan tersebut. Akhirnya dia memang tidak masuk ke jurusan yang diinginkannya, malah lulus di pilihan yang diinginkan oleh orang tuanya.

Mendekatkan diri dengan Yang Mahakuasa juga harus mulai dibina semenjak sekarang. Ini memang bukan berarti di saat mendesak seperti ini saja kita mulai melakukan ini, tapi memang sudah seharusnya kita mulai melakukannya dengan segala kerendahan diri dan ketidakmampuan kita di hadapan-Nya. Saya percaya kekuatan saya bisa bertahan menghadapi segala tantangan tahun lalu itu karena ada Tuhan yang selalu menyertai saya, ada Tuhan yang selalu menopang, menghibur dan mendengarkan segala doa-doa saya yang selalu saya panjatkan setiap harinya.

Rasa sepele atau memandang sesuatu/seseorang dengan sebelah mata pun harus mulai kita hindari, Seringkali yang saya temukan di tempat bimbel saya memang banyak yang sepele dengan mata pelajaran di luar Matematika, Fisika, Kimia. Tetapi saya mulai mengajak untuk berpikir lebih panjang dengan kehidupan yang akan dihadapi di masa depan. Berdasarkan apa yang telah saya alami di ITB selama satu semester dan mendapat mata kuliah Tata Tulis Karya Ilmiah (Bahasa Indonesia), suatu hal yang sangat disesali jika tidak belajar Bahasa Indonesia dengan serius dulu di bimbel. Saya juga punya teman yang sempat disepelekan oleh tentor-tentor saya karena nilai-nilai TO-nya selalu jelek dan ia juga cukup sering dikatakan kurang serius, bahkan ada tentor yang meragukan kemampuannya untuk menghadapi ujian SBMPTN. Tetapi Tuhan telah membalikkan pikiran-pikiran manusia, nilai SBMPTN-nya jauh lebih tinggi daripada saya, bahkan saya rasa ia mampu masuk STEI ITB yang memiliki passing grade tertinggi se-Indonesia.

Akhirnya, saya dan teman-teman saya membuka sesi pertanyaan dengan adik-adik tersebut. Banyak sekali yang bertanya mengenai jalur undangan. Siapa memang yang tidak ingin lulus melalui jalur undangan? Semua orang ingin. Tapi saya juga ingin berpesan untuk tetap mempersiapkan diri dengan hal-hal terburuk yang akan dihadapi.

Ada banyak hal-hal yang saya alami, saya dengar selama satu tahun tersebut. Satu tahun itu memang sangat mendewasakan saya sehingga saya benar-benar siap untuk memasuki dunia baru, dunia kampus. Saya berharap dengan cerita-cerita itu, semoga mereka semua tetap bersemangat hingga "kemenangan" mereka tiba.



Medan, 9 Januari 2017