"Dia bisa Bahasa Hokkien ya?" tanya koko itu kepada temanku dalam Bahasa Hokkien.
"Iya Ben, kamu bisa Bahasa Hokkien gak?" temanku bertanya balik kepada diriku dalam Bahasa Hokkien (lagi).
Aku mengangguk dan berkata, "Tapi maih sedikit-sedikit, Ko."
Gak terasa, sudah 2 tahun aku menjalani keseharianku di SMA Sutomo 1, salah satu sekolah favorit di Medan - mayoritas muridnya bersuku Tionghoa. Masih segar ingatanku 1 tahun yang lalu, aku merasakan yang namanya culture shock yang cukup membuatku begitu down.
1 tahun yang lalu, aku berada di kelas dimana hanya aku dan 1 temanku yang merupakan orang Indonesia asli - beberapa bulan kemudian, temanku itu pindah kelas karena tidak tahan dengan tekanan di kelas baruku itu. Bulan-bulan awal, aku sangat terkejut sekali karena semua orang di sekitarku berbicara Bahasa Hokkien. Mereka berdiskusi, bergosip, bahkan sampai marah pun memakai Bahasa Hokkien. Mereka juga awal-awal masih dingin sekali, jarang sekali mau berbicara kepadaku.
Cara belajar di sini juga berbeda dengan cara belajarku saat di SMP kemarin. Otakku betul-betul diputar. Kalau dulu aku dengan gampangnya mendapatkan 10 besar di kelas, di sini jangan harap, karena orang-orang di sini memang betul-betul belajar keras. Ya, memang salah satu sifat keturunan suku mereka adalah pekerja keras. Mereka terus bekerja/belajar habis-habisan demi mendapatkan hasil yang terbaik. Bahkan di hari libur pendek pun, mereka tetap akan bekerja/belajar. Misalnya aja nih, besok itu libur keagamaan 1 hari dan lusa ada ujian bulanan. Tak segan-segannya sekolah mengadakan les di hari libur itu. Ada positifnya, ada juga negatifnya sih. Positifnya, kita jadi ikut terpacu dalam belajar. Kalau negatifnya, kita jadi lupa sama Tuhan kita sendiri bahkan melupakan orang-orang di sekitar kita karena terlalu fokus belajar (baca: apatis).
Oh iya, di sekolahku juga, agama, olahraga, seni, ilmu sosial tidak terlalu dikembangkan. Orang-orang penting di sekolah hanya mengutamakam ilmu eksakta. Tak heran, kami hanya memenangkan lomba-lomba di bidang ilmu eksakta. Kalau di bidang tarik suara atau sepakbola, saya jamin tidak akan menang. Jadi, tidak ada tuh yang namanya praktik olahraga di lapangan atau praktik seni musik, misalnya. Cukup kecewa sih dengan keadaan seperti ini. Tapi karena sudah terbiasa dengan seperti ini, hal itu berangsur-angsur menjadi hal yang biasa bagiku.
Jujur, bulan-bulan awal, aku sempat nangis di kamar, bertelepon kepada ibuku yang sedang di luar kota, menceritakan segala yang terjadi disini. Tapi apa yang harus aku lakukan? Ini merupakan pilihanku kemarin, memilih sekolah SMA Sutomo 1 sebagai tempat melanjutkan studiku. Bahkan, kemarin saat hendak mendaftar, kedua orang tuaku kurang setuju dengan pilihanku itu. Tapi aku tetap bersih keras untuk memilih SMA Sutomo 1. Jadi, aku tak mungkin untuk pindah sekolah lagi. Aku harus melanjutkan perjuanganku disini.
Puji Tuhan, setelah melewati lika-liku di sana sini dalam menghadapi yang namanya culture shock, aku bisa berbahasa Hokkien dan sekarang sedang mendalami terus. Kemudian, aku memiliki banyak teman bersuku Tionghoa, mulai dari kelas X hingga kelas XII, mulai dari kelas IPA hingga kelas IPS. Sekian cerita dariku. Terima kasih telah membaca, readers! See you.
No comments:
Post a Comment