Tuesday, July 12, 2016

Het leven na het uitwisselingsjaar

Bonjour.

Kalau kamu bertanya tentang pertukaran pelajar kepada orang-orang yang sudah pernah mengikutinya, bisa-bisa mereka lupa waktu menceritakan banyak hal. Tahun tersebut memang tidak akan pernah dilupakan. Hari ini saya tidak akan bercerita tentang tahun pertukaran pelajar saya - ya, saya memang harus move on dari masa lalu - tetapi saya akan menceritakan how my life is after that year here, in my first home, Indonesia.

Ada begitu banyak rasa yang bercampur aduk dalam diri saya ketika kembali ke rumah saya dulu. Kesal. Bahagia. Sedih. Satu bulan pertama memang merupakan waktu yang sangat rapuh bagiku. Sering kali saya chat dengan salah satu volunteer AFS yang ada di chapter saya. Banyak hal yang masih belum saya terima. Satu tahun memang kalau dipikir-pikir cukup lama karena ada banyak sekali perubahan yang terjadi di sekitar lingkungan saya, baik bangunan-bangunan yang mulai bertambah maupun orang-orang yang memiliki banyak perubahan sifat. Tetapi memang bukan mereka saja yang berubah, banyak orang pun yang mengatakan bahwa saya juga telah banyak berubah.

Sekolah, tempat saya menimba ilmu setiap hari. Saya memang takut awalnya untuk memulai hari-hari di sekolah kembali. Saya takut tidak punya teman - ya, saya sekarang sadar bahwa saya bukan tipe orang yang gampang diajak berteman. Saya takut lupa akan banyak hal akan pelajaran-pelajaran kelas satu dan dua dulu sehingga menunjukkan bahwa sepertinya siswa pertukaran pelajar itu bodoh dan sia-sia mengikutinya. Ada banyak orang memang yang langsung berpikiran jelek terhadap pertukaran pelajar, tapi itu membuat saya semakin sadar bahwa setiap orang memiliki perspektif yang berbeda-beda akan sesuatu hal. Berkali-kali pula saya mencoba meluruskan apa yang terjadi dengan pikiran-pikiran antara saya dan orang-orang tersebut.

Di sekolah ada begitu banyak tawaran-tawaran menarik yang datang silih berganti ke kehidupan saya. Maksud saya, seperti tawaran untuk menjadi anggota OSIS kembali, ikut ekstrakurikuler ini itu, dsb. Jujur sebelum pergi ke Belgia, saya memang orang yang aktif di sekolah. Tapi kali ini saya mencoba untuk menolak semua tawaran itu. Yang saya pikirkan adalah saya harus menata kembali kehidupan saya - bukan berarti kehidupan saya dulunya berantakan, tapi maksudnya membuat kehidupan yang saya inginkan. Saya harus fokus ke depan, berpikir bahwa sudah saatnya saya harus lulus dari bangku sekolah ini. Melihat teman-teman saya dulu yang sudah kuliah memang menyakitkan, menyedihkan. Saya semakin terpacu untuk bisa mengejar mereka. Saya pun akhirnya hanya mengikuti satu kegiatan di sekolah, kegiatan siswa Kristen di sekolah. Selain itu, hari-hari saya hanya dipenuhi belajar dan belajar, di sekolah, di rumah, maupun di tempat bimbel.

Pikiran yang menginginkan untuk lulus secepatnya memang berhasil membuat saya mulai melupakan kehidupan di Belgia. Air mata sudah mulai tidak jatuh lagi ketika mengingat-ingat kehidupan saya dulu di Belgia. Beberapa kali memang saya sudah melakukan video call dengan keluarga angkat saya untuk melepaskan rasa rindu kepada mereka. Selain itu, saling mengirim surel pun kami lakukan. Di sosial media pun kadang saya berinteraksi dengan keluarga angkat dan teman-teman saya. Tapi pikiran tersebut juga seperti membuat gap antara saya dan teman-teman baru saya. Sepertinya saya memang "kuper" tahun ini. Saya hanya mengenal teman-teman sekelas saya yang baru dengan baik. Selebihnya, hanya teman-teman dari kelas lain yang sebimbel dengan saya yang saya kenal. Hm, saya memang sadar sepertinya hidup saya berubah 180 derajat dengan yang dulu. Ada memang rasa penyesalan akan gap yang terjadi ini, saya memang tidak terlalu dekat dengan mereka, berbagai acara yang sering mereka buat pun jarang, bahkan hampir tidak pernah saya ikuti karena bentrokan dengan jadwal saya bimbel. Saya memang lebih mementingkan kehidupan di bimbel daripada di sekolah tahun ini.

Kedatangan saya ke kelas baru ini memang menambah warna baru bagi mereka, kata mereka. Saya bersyukur karena walaupun saya sulit memulai pertemanan, kalau sudah namanya teman, saya tidak sungkan-sungkan untuk langsung bercerita panjang lebar, bercanda tawa sepuasnya dengan mereka. Akhirnya memang yang dulunya mereka kurang kompak dan banyak yang ngegrup, mereka kekompakannya mulai terlihat dan gap-nya mulai berkurang. Ironis memang apabila melihat kelas yang sudah tahun terakhir tapi tidak kompak. Tidak sedikit memang di antara mereka yang ambisius banget untuk menjadi yang terbaik di kelas. Hal ini memang berbeda dengan kelas saya dulu, yang memang walaupun sama-sama di kelas IPA 1. Kalau dibandingkan, memang lebih kompak kelas yang dulu, bahkan bisa membuat saya iri. Tapi saya tetap bersyukur kok. Saya tetap bersyukur bisa memiliki teman baru dan belajar menerima kehidupan yang baru. Saya memang tidak akan mungkin mendapatkan semua yang saya inginkan. Usaha untuk membuat mereka kompak pun sedikit saya lakukan karena waktu saya di sekolah yang sangat sedikit. Saya tetap bersyukur bisa belajar tentang kehidupan (lagi) bersama mereka, orang-orang yang baru satu tahun ini saya kenal.

Akhirnya setelah satu tahun penuh perjuangan, saya bisa menyelesaikan sekolah saya dengan nilai-nilai yang cukup baik dan saya pun berhasil masuk ke salah satu perguruan tinggi favorit di Indonesia dengan jurusan yang memang saya inginkan satu tahun terakhir ini. Memori-memori saat kelas 3 memang tidak banyak, tapi setidaknya cukuplah untuk mengakhiri tahun terakhir saya duduk di bangku sekolah dengan seragam putih abu-abu. Saya memang sudah mulai menerima akan segala hal yang terjadi di hidup saya. Ada banyak orang memang berbeda pendapat dengan saya, ada banyak orang yang tidak menerima dengan pikiran saya, tidak menerima hal-hal yang saya lakukan. Tapi melalui program pertukaran pelajar, ada satu prinsip yang terus saya pegang hingga sekarang: Apapun yang dikatakan orang, entah saya dicaci maki atau yang lainnya, yang tau dan bisa menggambar hidup saya hanya saya sendiri. Saya hanya hidup sekali dan saya menerima segala resiko yang saya lakukan karena itu yang saya inginkan.

Buat kalian yang pernah hadir di hari-hari saya selama saya duduk di tahun terakhir masa putih abu-abu saya, terima kasih.